Akhlak Tassawuf Dalam Kehidupan modern
A. PENGERTIAN TASAWUF.
1. Pengertian Tasawuf Secara Bahasa Dan
Istilah
Tasawuf berasal dari bahasa Arab
yaitu: “at-Tashawwufu” (اَلتَّصَوُّفُ) yang artinya berbulu yang banyak; yakni menjadi sufi itu ciri
khas pakaiannya adalah selalu terbuat dari bulu domba (wol).
Menurut keyakinan Jurji
Zaidan, bahwa ada hubungan kata arab ”shuufi” dengan kata Yunani ”Shopia”,
yang berarti ”kebijaksanaan”.
Dari segi Linguistik (kebahasan)
tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah,
hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana,
Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian Tasawuf dari segi
istilah atau pendapat para ahli amat tergantung kepada sudut pandang yang
digunakanya masing-masing.
1. Jika manusia dipandang sebagai makhluk
yang terbatas, maka Tasawuf adalah upaya mensucikan diri dengan cara
menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada
Allah SWT.
2. Jika manusia dipandang sebagai makhluk
yang harus berjuang, maka Tasawuf adalah upaya memperindah diri dengan
akhlaq yang bersumber dari ajaran Islam dalam rangka mendekatkan dirti kepada
Allah SWT.
3. Jika manusia dipandang sebagai makhluk
yang bertuhan maka Tasawuf adalah Kesadaran Fitrah (Ke Tuhanan) yang dapat
mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian Tasawuf pada intinya
adalah; Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia
dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Dan atau Kegiatan yang
berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
2. Pengertian Tasawuf Menurut Para Ahli
Tasawuf:
1. Muhammad Amin Al-Kurdy: Tasawuf adalah suatu
ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara
membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat
yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridaan Allah dan
meninggalkan laranganNya menuju kepada perintahNya.
2. Imam Al Ghozali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al
Kattany: Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang
memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu
dalam Tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal,
karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan
ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlaq
(terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.
3. Mahmud Amin Al Nawawy mengemukakan pendapat Al Junaid Al
Baghdady: Tasawuf adalah memelihara (meggunakan) waktu (lalu), ia
berkata: Seorang hamba tidak akan menekuni (amalan Tasawuf) tanpa aturan
tertentu, (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhannya
dan merasa tidak berhubungan (dengan TuhanNya) tanpa menggunakan waktu (untuk
beribadah kepadaNya).
4. Al Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma’ruf Al Karakhy: Tasawuf
adalah mencari hakikat dan meniggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk
(kesenangan duniawi)
5. Al-Junaid Al-Baghdadi (W. 279H/910M), Sebagai Bapak
Tasawuf Moderat; Tasawuf adalah keberadaan bersama Allah tanpa adanya
penghalang
6. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (W. 465h/1073m): Tasawuf
adalah ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berjuang mengendalikan
nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan sahwat, dan menggindari sikap
meringankan ibadah.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Tasawuf adalah cara mensucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun
kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Jadi unsur utama
tasawuf adalah penyucian diri, dan targetnya adalah keselamatan dan
kebahagiaan.
B. ASAL-USUL TASAWUF
Asal usul tasawuf dapat
dipahami dari uraian berikut:
1. Shafa (suci). Karena
kesucian batin dan kebersihan tindakannya.
2. Shaff (barisan). Karena
para Sufi memiliki iman kuat, jiwa yang bersih dan senantiasa memilih barisan
terdepan dalam sholat berjamaah.
3. Shaufanah, yakni
sejenis buah-buahan kecil berbulu dan banyak tumbuh dipadang pasir jazirah
Arabia. Nama ini digunakan karena banyak sufi yang memakai pakaian
berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar.
4. Shuffah (serambi
tempat duduk). Yakni shuffah Masjid Nabawi di Madinah yang disediakan bagi
para tuna wisma dari kalangan muhajirin dimasa Rasulullah S.A.W. para tuna
wisma tersebut biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi), karena mereka
bernaung di serambi masjid.
5. Shafwah (yang
terpilih atau terbaik); sufi adalah orang yang terpilih diantara
hamba-hamba Allah SWT. Karena
ketulusan amal mereka kepadaNya.
6. Theosophi (Yunani: theo :tuhan; shopos: hikmah)
yang berarti hikmah atau kearifan ketuhanan.
7. Shuf (bulu domba);
karena para shufi biasa memakai pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai
lambang kerendahan hati, untuk menghindari sikap sombong disamping untuk
menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
Syuhrawardi mengatakan bahwa mereka berkumpul di Masjid Madinah, seperti halnya
orang sufi berkumpul di Zawiyah dah Ribath. Mereka tidak bergerak untuk
berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rasulullah sendiri menolong orang
banyak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka.
Menurut Harun Nasution, ada
lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al‑suffah (ahl al-suffah),
(orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan),
sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf
(kain wol).
C. ISTILAH-ISTILAH DALAM
TASAWUF
1. Al-Maqamat
Al-Maqamat secara bahasa atau etimologi dari bahasa
Arab ”maqam” yang berarti “tempat orang berdiri atau pangkal mulia atau kedudukan spiritual”, dan dalam terminologi sufistik al-maqamat berarti tempat atau martabat
seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. kemudian al-maqamat digunakan untuk arti sebagai
jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada dekat dengan
Allah SWT. Dalam Bahasa Inggris
al-maqamat dikenal dengan istilah ”stages” yang berarti ”tangga”.
Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai)
kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan
ukuran tugas.
Menurut Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) al-maqamat adalah kedudukan atau
tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian
pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada
Allah.
2. Tingkatan Al-Maqamat
Sedikitnya ada tujuh al-maqamat yang
harus ditempuh oleh seorang Sufi agar dapat berdekatan dengan Allah. dikalangan
para Sufi tidak sama pendapatnya tentang jumlah al-maqamat dalam tasawuf.
Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang
pertama adalah kesadaran (dzauq),
kedua adalah tafkir (berpikir)
dan yang ketiga adalah musyahadah.
Menurut Muhammad Kalabazy
dalam kitabnya al-Ta’arufi mazab ahl al Tasawwuf, bahwa al-maqamat itu
jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqir,
al-Tawadlu’,al-Taqwa, al-Tawakal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.
Menurut Abu Nasr al-Sirraj al-Tusi
dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah al-maqamat hanya tujuh, yaitu:
al-Taubah. al-Wara’, al-Zuhud, al-Farq, al-Shabr, al-Tawakkal dan al-Ridla.
Dan menurut Imam Al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mangatakan bahwa al-maqamat itu ada delapan
yaitu al-Taubah. al-Wara’, al-Shabr, al- Zuhud, al-Tawakkal, al- Mahabbah,
al-Ma’rifah, dan al-Ridla.
Walaupun ada perbedaan pendapat
dalam jumlah maqamat, namun jumlah al-maqamat yang mereka sepakati, adalah:
al-Taubah, al-Zuhud, al-Wara’, al-Farq, al-Shabr, al-Tawakal, al-Ridha.
Sedangkan al-Tawadlu’, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah tidak disepakati sebagai
maqamat.
1. Al-Taubat: memohon
ampun kepada Allah SWT atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat
dan berjanji tidak akan mengulangi.
2. Al-Wara’:
meninggalkan segala keraguan antara yang halal dan haram (Syubhat)
3. Al-Zuhud: pola
hidup yang menghindari dan meninggalkan keduniawian karena ibadah kepada Allah
SWT, serta lebih mencintai kehidupan akhirat.
4. Al-Faqr: tidak
meminta lebih dari apa yang telah diberikan Allah SWT.
5. Al-Shabr: dalam
menjalankan perintah Allah, dalam menahan diri dari segala perbuatan jahat, dan
ketika menerima cobaan dari Allah SWT.
6. Al-Tawakkal: bersandar atau
mempercayakan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi segala rintangan.
7. Al-Ridla: rela menerima segala apa
yang telah ditentukan dan ditakdirkan, dan rela berjuang dijalanNya, rela
membawa kebenaran, dan berkorban dengan harta, pikiran dan jiwa.
Dengan melihat al-maqamat yang harus
dilalui oleh seorang Sufi untuk mencapai tujuannya, yakni berada
sedekat-dekatnya dengan Allah SWT, maka dapat dipahami bahwa al-maqamat
tersebut akan mengantarkan seorang Sufi mempunyai Akhlaqul Karimah yang tinggi.
Al-Ghozali menjelaskan bahwa untuk mencapai akhlaq
yang baik, seorang harus dapat mengupayakannya melalui jiwa dan kebiasaannya,
terutama dengan menghilangkan hawa nafsu. Hal ini terkait dengan konsep Al-Ghozali
tentang kabahagiaan yang dicapai melalui dua hal yaitu perbautan (amali)
yakni membersihkan jiwa menghilangkan hawa nafsu yang dapat menimbulkan
kesenangan dalam dunia (hub dunya) dan pengetahuan (‘ilmi). Yakni untuk
menghasilkan kesempurnaan amal itu sendiri.
3. Al-Ahwal
4. Tingkatan Al-Ahwal
5. Perbedaan Al-Maqamat
dan Al-Ahwal
6. Kaitan Al-Maqamat dan
Al-Ahwal dalam Fenomena sosial
D. KARAKTERISTIK TASAWUF
Menurut
Analisa Ilmuan Barat
(Orientalis), Sebagian peneliti telah berusaha mandefinisikan karakteristik
umum yang sama di antara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme.
Menurut William James,
seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme
selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :
1.
Merupakan
suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan
kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakekat realitas
yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.
2.
Merupakan
suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia
semacam kondisi perasaan (states of feeling), yang sulit diterangkan pada orang
lain dalam detail kata-kata seteliti apa pun.
3.
Merupakan
suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Yakni tidak berlangsung lama
tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat
kuat dalam ingatan.
4.
Merupakan
suatu kondisi pasif (passivity). Yakni seorang tidak mungkin menumbuhkan
kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya,
justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang
begitu menguasainya.
Menurut R.M.Bucke,
terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu ;
1.
Pancaran
diri subyektif (subyective light).
2.
Peningkatan
moral (moral elevation).
3.
Kecerlangan
intelektual (intelektual illumination).
4.
Perasaan
hidup kekal (sence of immotality)
5.
Hilangnya
perasaan takut mati (loss of fear of death)
6.
Hilangnya
perasaan dosa (loss of sense of sin).
7.
Ketiba-tibaan
(suddynness).
Karakteristik umum tasawuf atau
mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan
terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisisme. Namun,
karakteristik yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih
banyak ciri-ciri lainya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup disana.
Misalnya perasaan tentram, keiklasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana
penuh dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang
dan waktu, dan lain-lain.
menurut Bertrand Russell, setelah menganalisa kondisi-kondisi
tasawuf atau mistisme, telah berusaha ubtuk membatasi ciri-ciri flosofis
tasawuf atau mistisisme kedalam empat karakteristik yang menurutnya akan
membedakan tasawuf atau mistisisme dari filsafat-filafat lainya, pada semua
kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Empat karakteristik itu ialah sebagai
berikut ;
1.
Keyakinan
atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode
pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
2.
Keyakinan
atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi,
bagaimana pun bentuknya.
3.
Pengingkaran
atas realitas zaman.
4.
Keyakinan
atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang
dikenakan kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.
E. PENTINGNYA
TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN
Masyarakat modern adalah himpunan
orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu
yang bersifat mutakhir. Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai
lawan dari masyarakat tradisional.
Menurut Deliar Noer, ciri-ciri masyarakat
modern adalah:
1. Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal
pikiran, daripada pendapat emosi.
2. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya
memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya
secara lebih jauh.
3. menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah
sesuatu yang sangat berharga.
4. Bersikap
terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik kriktik, gagasan dan perbaikan
dari manapun datangnya.
5. Berpikir
obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi
masyarakat.
Kehidupan modern timbul dan
berkembang pesat di Negara-negara Barat (Amerika Utara dan banyak Negara
Eropa). Kehidupan modern disana ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam
bidang ilmu pengetahuan dan tegnologi, sedangkan dalam bidang keagamaan
ditandai dengan gejala-gejala semakin menjauhnya anggota masyarakat dari ajaran
akhlaq ilahi.
Menurut Prof. Komaruddin Hidayat,
Salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang
sangat agresif terhadap kemajuan yang didorong oleh berbagai prestasi
yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan tegnologi, masyarakat modern berusaha
mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk terhadap kedigdayaan
iptek yang berporos pada rasionalita (akal pikiran). Realitas alam raya
kini hanya dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannnya
dengan Tuhan. Alam raya dipahami sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti
gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh Tuhan,
selanjutnya Tuhan “pensiun” dan tak ada lagi urusannya dengan kehidupan di
dunia ini.
Dunia materi dan non-materi dipahami
secara terpisah sehinggga dengan cara demikian masyarakat modern merasa semakin
otonom dalam arti tidak lagi memerlukan campur tangan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hidupnya. Hasilnya ialah masyarakat modern sangat agresif
terhadap kemajuan. Modernisme yang berporos pada rasionalitas, harus diakui,
telah mampu menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan materi yang
belum pernah dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Budaya modern tersebut, dewasa ini,
telah tampak pengaruhnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
khususnya di masyarakat perkotaan. budaya modern yang kita ambil kulitnya saja
dapat megikis budaya kebersamaan sehingga menjadi budaya individualistik yang
satu sama lain hanya berkonsentrasi pada pemberdayaan diri tanpa memperdulikan
nasib dan kondisi orang lain. Diperparah lagi dengan dominasi rasionalitas
manusia modern yang segala sesuatunya hanya diukur dari hal-hal yang bersifat
empiris, sehingga tak sedikit manusia modern yang menganut pemahaman bahwa
seolah-olah Tuhan itu telah tiada, dalam arti manusia lebih memperturutkan hawa
nafsu syetan dari pada memperhatikan bisikan hati yang bersumber dari tuhan.
Cirikhas modern adalah perubahan,
dan perubahan itu merupakan gejala harian yang begitu cepat. Karena itu,
siapapun harus beradaptasi dengan percepatan perubahan tersebut. Sebagai umat
Islam, disamping kita dituntut untuk istiqomah dalam menjalani ajaran Islam,
kita juga harus kreatif untuk menagkap setiap makna perubahan tersebut. Iman
kita harus stabil tapi didukung oleh pemikiran dan pemahaman yang dinamis,
sehingga kita bisa maju besama perkembangan zaman tanpa mengorbankan keImanan,
inilah gambaran tentang peran dan fungsi tasawuf yakni penyeimbang dan
pengendali dari setiap adanya perubahan.
Kehidupan masyarakat modern yang
serba cepat dan cendrung materialistis ini sebenarnya sudah berada pada titik
kejenuhan. Pada kendisi yang demikian itulah tasawuf sangat diperlukan dengan
banyaknya fenomena kerinduan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual,
banyaknya bermunculan majlis dzikir dan kajian-kajian keislaman yang dikelola
secara baik oleh para da’i atau tokoh-tokoh Agama Islam. Bahkan tidak sedikit
kelompok-kelompok tertentu dan umat Islam yang mendirikan lembaga-lebaga ke
Islaman yang kental dengan nilai da’wah. Ini menunjukkan bahwa geraka tasawuf
kembali dirindukan oleh manusia-manusia modern.
F. HUBUNGAN
ANTARA AKHLAK DENGAN TASAWUF
G. TOKOH-TOKOH DALAM
TASAWUF
H. MAQAMAT-MAQOMAT DALAM
TASAWUF
I. HIKMAH
BERTASAWUF
J. ORANG-ORANG YANG
BERTASAWUF
Rasulullah dalam kehidupan beliau
telah menggambarkan sebagai orang sufi yang sangat sederhana, beliau
menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang merupakan amalan zuhud dalam
ajaran Tasawuf.
Beliau sering melakukan khalwat di
Jabal Nur untuk mendapatkan petunjuk dari tuhan-Nya. Berulangkali Nabi menempuh
kehidupan yang seperti itu, dengan bekal yang sangat terbatas; berupa roti
kering, buah-buahan dan air putih, yang menggambarkan kesederhanaan seorang
sufi.
Di Jabal Nur, Nabi mengasingkan
dirinya (‘uzlah) dan hidup sendirian (infirad) dari masyarakat Quraisy yang
semakin hari semakin rusak akhlaknya. Ditempat itu, beliau ingin bertemu dengan
tuhan-Nya (liqa) dan memohon petunjuk-Nya serta mencari kehidupan yang berbeda
dengan kehidupan Quraisy yang setiap saat melakukan dosa. Akhirnya datanglah
malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu Allah yang mengandung petunjuk dan
ajaran, yang selanjutnya disampaikan kepada umat manusia, agar terhindar dari
jalan yang sesat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
Setelah Nabi resmi diangkat menjadi
Rasul, ia mulai melaksanakan tugasnya, dengan menanamkan keimanan dan akhlaq
mulia kepada masyarakat Quraisy.
Meskipun nabi sebagai kepala
pemerintahan, ia masih tetap memiliki kehidupan yang sederhana, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh para Sahabatnya, bahwa dirumah beliau hanya terdapat
selembar tikar dan makanan yang sederhana. Dan kadang-kadang
juga Nabi dan keluarganya berpuasa karena tidak ada makanan di rumahnya.
Beberapa sahabat yang tergolong sufi
di abad pertama, dan berfungsi sebagai Maha guru bagi pendatang dari luar kota
Madinah, yang tertarik kepada kehidupan sufi antara lain:
1. Abu Bakar As-Siddiq; wafat
tahun 13 H.
Sebagai saudagar yang kaya raya ketika
masih berada di Makkah. Namun ketika hijrah ke Madinah harta kekayaannya habis
karena disumbangkan untuk kepentingan tegaknya agama Allah, sehingga ia dan
keluarganya mengalami kemiskinan dalam hidupnya.
2. Umar bin
Khattab; wafat tahun 23 H.
Sebagai orang yang tinggi kasih
sayangnya terhadap sesama manusia. Dan ketika menjadi Khalifah, beliau selalu
mengadakan pengamatan langsung terhadap keadaan rakyatnya. Suatu ketika Umar
mendapatkan seorang ibu yang berpura-pura memasak untuk menenangkan tangis
anak-anaknya yang sangat lapar. Ketika umar menyelidikinya, ia malihat bahwa
yang di masak itu adalah batu, maka beliau bertanya kepada ibu itu, mengapa ibu
tidak memasak roti, hanya memasak batu? Jawab si ibu, saya tidak mempunyai
gandum. Seketika itu pula Umar pulang dengan cepat mengambil gandum di Baitul
Mal kemudian ia sendiri yang memikulnya untuk diberikan kepada ibu yag miskin
tadi. Inilah sikap Tawadhu’ Umar sebagi seorang sufi dan yang senang hidup
dalam kemiskinan sebagai halnya Abu Bakar.
3. Utsman bin Affan; wafat
tahun 35 H.
Meskipun ia diberi kelapangan rizki
oleh Allah, namun ia selalu ingin hidup yang sederhana. Sedangkan harta
kekayaannya yang berlimpah ruah, selalu dijadikan sarana untuk menolong orang-orang
miskin. Hal ini tergambar pada dirinya bahwa ia termasuk sufi, karena beliau
tidak tertarik kepada kekayaan atau kesenangan duniawi.
4. Ali bin Abi Thalib; wafat
tahun 40 H.
Beliau juga termasuk orang yang senang
hidup sederhana, dalam suatu riwayat, bahwa ketika sahabat lain berkata
kepadanya, mengapa Khalifah senang memakai baju itu? Padahal baju itu sudah
robek-robek, Ali menjawab, aku senang memakainya agar menjadi tauladan kepada
orang banyak sehingga mereka mengerti bahwa hidup sederhana itu merupakan sikap
yang mulia. Maka sikap dan pernyataan inilah yang menandakan diri
beliau sebagai seorang sufi.
Dan untuk contoh-contoh perilaku
bertasawuf dari tokoh-tokoh ulama sufi thabi’in antara lain:
1. Al-Hasan Al-Basry; hidup tahun 22 H-110 H.
Ia mendapatkan ajaran Tasawuf dari Hudhaifah
bin-Yaman, sehingga ajaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Maka ia dikenal sebagai ulama sufi yang sangat dalam
ilmunya tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran Islam, dan sangat
menguasai ilmu batin.
Ilmu yang didapatkan dari gurunya
selalu diajarkan kepada murid-muridnya yang bertebaran di kota Basrah.
Iapun dikeal sebagai orang yang pertama kali menggunakan Masjid Basrah sebagai
madrasah (tempat mengajarkan ilmu agama)
Dalam mengamalkan ajaran zuhud, ia
berpendapat bahwa kita harus lebih dahulu memperkuat perasaan tawakkal
kepada Allah, khauf (takut) terhadap siksaan-Nya dan raja’
(mengharapkan) karunia-Nya. Kemudian kita harus meninggalkan kenikmatan dunia, karena
hal itu merupaka hijab (penghalang) dari keridaan Allah SWT.
Ada beberapa pernyataan (kata-kata
hikmah) yang pernah dilontarkan kepada murid-muridnya;
a) Perasaan takut yang mengarah kepada
perasaan tentram, lebih baik daripada perasaan tentram yang akan menimbulkan
perasaan takut.
b) Tafakur membawa kita kepada kebaikan
yang akan dikerjakannya. Menyesal atas kesalahan, berarti kita sadar dan akan
meninggalkannya. Barang yang bersifat fana (binasa) tidak dapat mengalahkan
barang baqa (tetap), meskipun yang fana itu lebih banyak daripada yang baqa.
Maka jagalah dirimu dari sesuatu yang menjadi tipuan bagimu.
c) Orang yang beriman selalu berduka
cita, karena ia hidup antara dua ketakutan;yakni mengenang dosanya yang telah
lalu dengan segala ganjarannya kelak, serta takut ketika memikirkan dosa yang
mungkin akan diperbuatnya.
d) Akhir kehidupan dunia merupakan awal
kehidupan akhirat di kubur.
2. Rabi’ah Al-Adawiyah; wafat tahun 185 H.
Manusia harus sadar bahwa kematin sedang
menghadangnya, hari kiamat akan menepati janjinya dan hambanya akan dihadapakn
kepada pengadilan di akhirat.
Ia terkenal sebagai ulama sufi wanita
yang mempunyai banyak murid dari kalangan wanita pula.
Kalau Al-Hasan menganut zuhud
dengan menonjolkan falsafah tawakal, khauf dan raja’, maka Rabi’atul
Adawiyah menganut zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta)
dan shauq (rindu) kepada Allah.
Salah satu pernyataannya yang
melukiskan falsafah hubb dan shauq yang mewarnai kehidupannya adalah: ”Saya
tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak
untuk mendapatkan syurga (karena hal itu) akan menjadikan saya seperti pencari
imbalan yang berakhlak buruk. (ketahuliah), bahwa saya
menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.
3. Sufyan bin Said Al-Thury;hidup tahun 97 H -161 H.
Ia dilahirkan di Kufah,
kemudian meninggal di Basrah. Dan beliau termasuk salah seorang
ulama sufi yang dikagumi, karena kezuhudan serta kealimannya.
Masa hidupnya diisi dengan
pengabdian secara Tasawuf, dan aktif mengajarkan ilmu yang ada padanya. Iapun
selalu menyeru kepada sesama Ulama’ agar menjauhkan dirinya dari godaan dunia
yang sering membawa manusia lupa mengabdikan dirinya kepada Tuhan.
Salah satu kata hikmahnya yang
melukiskan bahaya yang menimpa ulama, bila menyenangi kehidupan dunia,
berbunyi: “Apabila ulama yang rusak; maka siapakan yang akan memperbaikainya
dan kerusakan mereka karena kecenderungannya kepada kehidupan dunia”.
Pendirian beliau sangat teguh dan
tidak mau mendekati penguasa, tetapi suatu ketika, ia dipanggil menghadap oleh Khalifah
Al-Mansur untuk mempertanggung jawabkan sikapnya terhadap penguasa. Ia
tetap lantang pembicaraannya di hadapan khalifah sehingga orang menganggap
bahwa ia pasti dipenjara, tetapi hal itu tidak terjadi baginya.
Beliau pernah ditanya oleh seorang
yang mengatakan: jika sufi berkhalwat (menyepi) untuk beribadah kepada Allah,
apakah yang akan dimakannya? Beliau
menjawab: orang yang takut kepada Allah, tidak akan khawatir apapun yang
menimpanya. Dan seorang sufi, hanya berusaha sendiri untuk biaya hidupnya,
sekedar memperkuat pisiknya beribadah kepada Tuhan-Nya. Seorang tidak
boleh memberatkan orang lain, termasuk tidak mengemis makanan dan minuman.
K. PERAN TASAWUF DALAM
KEHIDUPAN MODERN
L. TAHAPAN-TAHAPAN TASAWUF
Ada empat macam tahapan
yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu
tujuan yang disebut sebagai “Al-Sa’adah” oleh Al-Ghazali dan “Al-Insanul
Kamil” oleh Muhyidin bin Arabiy. Keempat tahapan itu adalah syariat,
thariqat, hakikat, dan ma’rifat.
1. Syariat
Menurut Al Sayyid Bakar Al-Ma’ruf,
Syariat adalah perintah-perintah yang telah diperintahkan oleh Allah, dan
larangan yang telah dilarang oleh-Nya.
Menurut Abu bakar al-Ma’ruf
syariat adalah: meliputi segala macam perintah dan larangan Allah SWT.
Perintah-perintah itu, disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuata
yang hukumnya wajib atau fardhu, sunnah (mandub), atau mustahab dan mubah
(jaiz) atau keharusan. Sedangkan larangan-larangan yang disebut dengan istilah
munkarat meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Hal-hal yang
sifatnya ma’ruf dan munkarat, sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Hadits,
tinggal dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan petunjuk itu. Keterangan ini
diterangkan dalam Al-qur’an yang berbunyi:
Artinya: Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
2. Thariqat
Thariqat dari kata Al-Thariq (jalan)
menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan syari’at, yang disebut
Al-Jarra atau Al-Amal.
Menurut Syekh Muhammad Amin
Al-Kurdy, thariqat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban
ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah yang
sebenarnya tidak boleh dipermudah.
3. Hakikat
Hakikat dari kata Al-Haqq, yang
berarti kebenaran. ilmu hakikat, adalah ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran.
Menurut Syekh Abu Bakar
Al-Ma’ruf, Hakikat adalah (suasana kejiawaan) seorang salik (sufi) ketika
ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan
dengan mata hatinya.
Hakikat yang dicapai oleh sufi
setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya
yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, ulama sufi sering mengalami
tiga macam tingkatan keyakinan:
a) Ainul
Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran
Allah sebagai penciptanya.
b) Ilmul
Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
c) Haqqul
Yaqin: suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani sufi
tanpa melihat ciptaan-Nya, sehingga segala tingkah laku dan ucapannya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal.
4. Ma’rifat
Ma’rifat dari kata “Al-Ma’rifah”
berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka ma’rifat berarti mengenal Allah ketika seorang
sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.
Menurut Dr. Mustafa Zahri ma’rifat
adalah
ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah)
yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
Menurut Syekh Ihsan Muhammad Dahlan
Al-Kadiry yang meneruskan pendapat Abu al-Thayyib Al-Samiri,
ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran
Tasawuf dapat samapai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, sufi yang sudah
mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu. Menurut Dhun Nun
Al-Misri tanda-tanda yang miliki orang yang sudah ma’rifat adalah:
a) Selalu memancar cahaya ma’rifat
padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada
pada dirinya.
b) Tidak menjadikan keputusan
pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang
nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c) Tidak menginginkan nikmat
Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu membawanya kepada perbuatan yang
haram.
Dari sinilah kita dapat menilai bahwa
seorang sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan
kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah
SWT. Menurut syekh Muhammad bin Al-Fadal, bahwa ma’rifat yang dimiliki
sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu
bersama-sama dengan tuhan-Nya.
M. CONTOH-CONTOH PERILAKU BERTASAWUF.
N. TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN
1. Krisis
yang melanda dunia modern atau problematika masyarakat modern
Allah memberikan isyarat lewat
firmannya dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30): ayat 41:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾
Artinya:”Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).”
Kehadiran Ilmu pengetahuan
dan Teknologi telah menimbulkan beberapa krisis dan problematika yang melanda
masyarakat Modern diantaranya adalah:
a. Desintegrasi
ilmu pengetahuan.
kehidupan modern antara
lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengertahuan.
Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang)nya sendiri
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu
ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi,
etnologi dan ekonomi misalnya, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan
terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya dapat membingungkan
manusia. Dengan menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi spiritual,
maka manusia modern semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi memiliki
etika dan estetika yang mengacu pada spesialisasi, sehingga jikalau semuanya
berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang
mengusai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan
(kearifan) akan kesatuan alam. Perkembangan semacam ini diisyaratkan oleh
Nas sebagai manusia modern yang memang tangannya dalam kobaran api tetapi
dirinya sendiri yang menyalakan ketika dirinya sendiri yang melupakan siapa dia
sesungguhnya.
b. Kepribadian yang terpecah (split personalty).
Kehidupan manusia modern
dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang kering dari nilai-nilai spiritual dan
terkotak-kotak, sehingga manusianya menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan
manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini
tengah menggelinding proses hilangnya kakayaan rohaniyah, karena dibiarkannya
perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang mengandalkan fakta empirik, obyektif,
rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Jika proses keilmuan yang
berkembang itu tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran
pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut,
semua kekuatan yang akan mempertinggi derajat manusia itu akan hilang, sehingga
bukan hanya kehidupan yang mengalami kemerosotan tetapi juga kecerdasan moral
kita.
c. Penyalahgunaan
Iptek.
Dengan
terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual, maka iptek
telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatif sebagaimana disebutkan
diatas, misalnya; kemampuan untuk membuat senjata yang diarahkan untuk tujuan
penjajahan suatu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain sebagainya.
Kemampuan dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia.
Kecangihan dibidang tehnologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk
menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan sebagainya.
d. Pendangkalan iman.
Hal ini
dikarenakan pola pikir para ilmuan yang hanya mengakui fakta yang bersifat
empiris. Dan tidak tersentuh oleh informasi yang yang datang dari wahyu, bahkan
informasi yang dibawa oleh wahyu menjadi bahan tertawaan dan dianggap sebagai
tidak ilmiah dan kampungan.
e. Pola hubungan
materialistik.
Pola
hubungan masyarakat yang ditentukan oleh seberapa jauh antara yang satu dengan
lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
Penghormatan
yang diberikan seseorang atas orang lain yang banyak diukur dengan sejauh mana
orang tersebut memberikan manfa’at secara material.
Semangat
persaudaraan dan rasa saling tolong menolong yang didasarkan atas panggilan
iman yang sudah tidak nampak lagi, karena memang imanya sudah dangkal.
Sehingga
Pola hubungannya dengan menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan
akal sehat, hati nurani, kamanusiaan dan imannya.
f. Menghalalkan
segala cara.
Hal ini
disebabkan oleh dangkalnya iman dan pola hidup matrealistik, sehingga manusia
dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai
tujuan. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi kerusakan akhlaq dalam segala
bidang, baik ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
g. Stress dan
Frustasi.
kehidupan
yang penuh kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran,
tenaga dan kemampuannya untuk mengejar target. Mereka terus bekerja tanpa
mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukuri dan selalu
merasa kuarang. Apalagi jika usaha dan proyeksinya gagal, maka akan dengan
mudah ia kehilangan pegangan. Hal ini disebabkan tidak lagi memiliki pegangan
iman yang kokoh. Mereka hanya berpegang kepada hal-hal yang bersifat material
yang sama sekali tidak dapat membimbing hidupnya. Akibatnya jika menghadapi
masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri akan mudah frustasi bahkan stress,
jika hal ini terjadi terus-menerus tidak mustahil akan menjadi gila atau hilang
ingatan.
h. Kehilangan harga
diri dan masa depannya.
Karena
terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk
menuruti hawa nafsu dan segala daya yang ditempuhnya. Sehingga ketika sudah tua
renta, fisiknya sudah tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung, dan
berbagai kegiatan tidak bisa dilakukan, fasilitas dan kemewahan hidup tidak
memerlukan lagi. Maka yang dirasa adalah kehilangan harga diri dan masa
depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu.
2. Timbulnya
tasawuf modern dalam kehidupan modern
Menurut Prof. Hamka, kita bisa berperilaku sufi atau mengikuti
sunnah-sunnah yang sudah digariskan oleh Nabi SAW tanpa harus meninggalkan
kehidupan modern. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang harus kita teladani dari
kehidupan Nabi antara lain:
a. Zuhud
Beliau
mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah kekayaan harta benda
melainkan kekayaan rohaniyah. Beliau tidak memiliki harta kekayaan padahal
sebenarnya bisa memilikinya jika beliau mau. Beliau tidak tertarik pada harta
benda karena memandang nilai rohani lebih tinggi kedudukannya.
b. Hidup sederhana
Dalam kehidupan sehari-hari tercermin kesederhanaan beliau dalam perumahan,
pakaian, dan makanan.
Dari segi perumahan, Kasur beliau terbuat dari kulit berisi sabut.
Bahkan terkadang beliau tidur di atas tikar daun kurma sehingga membekas pada
punggungnya. Pernah seorang sahabat melihat kesedehanaan Nabi, sehingga
menawarkan kasur yang empuk. Beliau menolaknya dengan berkata, apakah arti
kehidupan dunia ini bagiku. Bagiku dunia hanya ibarat seorang penunggang
kuda yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia meninggalkannya.
Dari segi berpakaian, begitu sederhananya. Aisyah pernah memperlihatkan
sehelai pakaian Nabi yang kasar yang dipakai beliau pada deti-detik hayatnya
yang terakhir.
Dari segi makanan, amat sederhana sekali. Beliau banyak
berpuasa dan tidak makan kecuali lapar dan kalaupun makan tidak sampai kenyang.
c. Bekerja keras
Hidup sederhana yang dicontohkan rasul bukan lahir dari kemalasan. Nabi
menyuruh bekerja keras untuk memenuhi hajat hidup dan kelebihan rezeki yang
diperolehnya dari cucuran keringat itu untuk kepentingan infaq di jalan Allah
SWT. Nabi pernah menandaskan: “bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau
akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok
hari”.
Aktif dalam kemasyarakatan dan amal sosial, Rasulullah terkenal amat
pemurah. Beliau berkeinginan keras melayani kepentingan umat dan menolong
mereka dari segala kesulitan. Rasulullah SAW. Selalu memperhatikan pelayanan
terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orang-orang lemah.
d. Perbaikan akhlak
Nabi Muhammad
SAW. Adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam tingkah laku
(akhlaq). Beliau selalu memberi dorongan untuk berbuat ikhsan kepada sesama
manusia, berbuat baik pada keluarga dan famili, memuliakan tamu dan tetangga.
Nabi menjelaskan pada salah satu sabdanya bahwa: “manusia paling baik ialah
yang paling baik perangainya.”. Dalam hal ini, yang dituntut bukan hanya
tingkah laku lahir saja melainkan juga sikap batin yang selalu terkontrol dan
cendrung kepada jalan kebaikan dan kebajikan.
e. Ibadah
Rasulullah
adalah ahli ibadah yang paling mulia, bukan saja dalam ibadah wajib, melainkan
juga dalam ibadah sunnah. Sebagian malamnya dihabiskan dalam sholat malam
(tahajjud), jarang meninggalkan rowatib dan setiap waktu selalu dalam dzikir
dan istighfar. Sekalipun beliau sunyi dari dosa, beliau beristigfar tidak
kurang dari 70-100 kali sehari.
Selain
tasawuf modern yang ditawarkan oleh Prof. Hamka, ada tasawuf
yang layak dipraktikkan kedalam kehidupan modern, yaitu tasawuf positif.
Prinsip tasawuf positif ialah menekankan pentingnya nilai-nilai tasawuf yang
positif dan sesuai dengan kehidupan kini. Gagasan tasaawuf ini
berawal dari fakta bahwa citra tasawuf masih berkutar dalam ekses-ekses
negative yang berkaitan dengan hal-hal yang mistis sehingga orang modern jarang
atau tidak tertarik pada kehidupan tasawuf.
Diantara ajaran tasawuf positif yang dikembangkan dalam kehidupan modern adalah:
a.
memandang zuhud sebagai
prinsip tasawuf yang selaras dengan kewajiban zakat.
Bila ajaran zuhud pada zaman dulu melazimkan sufi untuk meninggalkan
kehidupan duniawi yang menjerat nafsu, maka pada zaman kini orang kaya dapat
berprilaku zuhud dengan jalan atau cara mengeluarkan zakat dan infaq. Ia masih
boleh terikat secara fisik dengan dunia tetapi kehidupan rohaniah selalu
terpelihara dari jeratan dan jebakannya. Hartanya akan selalu ia bagi-bagikan
kepada kaum fakir yang membutuhkan. Do’anya setiap waktu adalah “ya Allah,
jadikanlah aku orang kaya yang selalu berderma. Letihkanlah
aku untuk membagi-bagikan titipanMu”.
b.
Memahami amal saleh secara luas, tanpa membatasi
pada amal-amal yang bersifat agamis.
Misalnya,
bekerja secara professional, membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran, dan
mewujudkan sistem perbankan yang berkeadilan sosial.
c.
Bekerja keras sebagai salah satu cara dalam
menerjemahkan kehendak Allah atau menjemput takdir-Nya.
Bekerja
dipandang sebagi upaya untuk mengasah potensi diri atau fitrah yang telah Allah
anugerahkan kepada setiap insan.
d.
Berusaha menintegrasikan nilai-nilai Tasawuf ke
dalam dunia modern, seperti ke dalam dunia bisnis, ekonomi, politik, hingga ke
dalam teknologi komunikasi.
http://muhtadimaa.blogspot.co.id/2015/01/tasawuf-modern.html