BAB
I
PENDAHULUAN
Akhlak Tasawuf adalah
salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini
semakin dirasakan, secara historis dengan teologis akhlak tasawuf tampil
mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat.
Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw. adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung
keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang
prima.
Melihat betapa
pentingnya akhlak tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah menghe-rankan jika
akhlak tasawuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita
semua.
Untuk mengungkap
segala permasalahan yang terkait dengan Akhlak Tasawuf, kami akan mencoba
menguraikannya dalam makalah singkat yang berjudul Pengertian dan Tujuan
Mempelajari Ilmu Akhlak Tasawuf.
BAB
II
PENGERTIAN
DAN TUJUAN MEMPELAJARI
ILMU
AKHLAK TASAWUF
A. Pengertian dan Tujuan
Mempelajari Ilmu Akhlak
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun
yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun
yang berarti kejadian, yang juga erat hubu-ngannya dengan khaliq yang
berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun yang berarti yang
diciptakan.
Perumusan
pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khaliq dengan makhluk.
Ibnu Athir menjelaskan bahwa: “Hakikat makna khuluq itu, ialah gambaran
batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang khalqu
merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendahnya
tubuh dan lain sebagainya”.
Ibnu Maskawaih memberikan definisi
sebagai berikut:
حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَهَا اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ
غَيرِ فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”.
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi
Akhlak sebagai berikut:
اَلْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ
عَنْهَا تَصْدُرُ الْأَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى
فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”.
Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi,
bahwa yang disebut akhlak “Aratul-Iradah, atau kehendak yang dibiasakan.
Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya yang berbunyi:
عَرَّ فَ بَعْضُهُمُ الْخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ الْاِرَادَةِ
يَعْنِى أَنَّ الْإرَادَةَ اِذَا اعْتَادَتْ شَيْأً فَعَادَتُهَا هِيَ
الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ
Artinya:
“Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut
akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, maka kebiasaan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan
akhlak”.1
Sekalipun ketiga definisi akhlak diatas berbeda
kata-katanya, tetapi sebenarnya tidak berjauhan maksudnya, bahkan berdekatan
artinya satu dengan yang lain. Sehing-ga Prof. KH. Farid Ma’ruf membuat
kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai berikut: “Kehendak jiwa
manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa
memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.2
Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapatlah
dimengerti bahwa akhlak ada-lah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa
yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat
sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbua-tan dengan mudah dan spontan tanpa
dipikirkan dan diangan-angan lagi.
Maksud perbuatan yang dilahirkan dengan mudah tanpa pikir
lagi disini bukan berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak
sengaja atau tidak dike-hendaki. Jadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu
benar-benar sudah merupakan “azimah”, yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu
perbuatan, oleh karenanya jelas perbuatan itu memang sengaja dikehendaki
adanya. Hanya saja karena keadaan yang demikian itu dilakukan secara kontinyu,
sehingga sudah menjadi adat/kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya
timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir lagi.
Perlu dijelaskan pula bahwa memang sering perbuatan itu
dilakukan secara kebe-tulan tanpa adanya kemauan atau tanpa dikehendaki, atau
juga sesuatu perbuatan yang dilakukan sekali atau beberapa kali saja, begitu
pula suatu perbuatan yang dilakukan tanpa adanya ikhtiar dan kebebasan, dalam
arti dilakukannya perbuatan tersebut dengan terpaksa, maka perbuatan-perbuatan
seperti tersebut diatas tidaklah dapat di-kategorikan kedalam “akhlak”.
Dapatlah dicontohkan disini, seseorang tidaklah dikatakan
berakhlak dermawan, apabila dalam memberikan harta/uangnya (dalam bersedekah)
itu dilakukan hanya sekali atau dua kali saja, atau mungkin dalam pemberian itu
karena terpaksa (karena gengsi, dan sebagainya). Jadi pemberian tersebut
mestinya tidak dikehendaki, atau mungkin dalam pemberian itu masih memerlukan
perhitungan dan pemikiran (masih merasa berat).
Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat
manusia baik di-dunia maupun diakhirat. Karena itu, kita sebagai manusia untuk
hidup saling memban-tu baik dari pekerjaan, kebutuhan atau yang lainnya.
Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad
Amin mengata-kan sebagai berikut:
Tujuan
mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya
sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat
zalim
termasuk perbuatan
buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbua-tan baik, sedangkan
mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa
tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari
kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih,
bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.
Selain itu ilmu akhlak juga akan berguna secara efektif
dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat.
Diketahui bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara
lahiriah melalui fiqih, sedangkan rohani dibersihkan secara bathiniah melalui
akhlak.4
B. Pengertian dan Tujuan
Mempelajari Ilmu Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang
dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution,
misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah
(ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah keMadinah,
saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani:
hikmat), dan suf (kain wol). Keseluruhan kata bisa-bisa saja dihubungkan
de-ngan tasawuf. Kata ahl as-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi
dari Mekkah ke-Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela
mencurahkan jiwa raga-nya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah.
Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan harta
benda lainnya diMekkah untuk hijrah bersama Nabi keMadinah. Tanpa ada unsur
iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka melakukan hal yang demikian.
Selanjutnya kata saf juga menggambar-kan orang yang selalu berada
dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah dan me-lakukan amal kebajikan.
Demikian pula kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu
memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (kain
wol) meng-gambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia.
Dan kata sophos (bahasa Yunani: hikmat) menggambarkan keadaan jiwa yang
senantiasa cende-rung kepada kebenaran.
Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat
dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian
diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu
bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak
yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat
para ahli amat bergan-tung kepada sudut pandang yang digunakannya
masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk
mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas,
manusia sebagai makhluk yang harus ber-juang, dan manusia sebagai makhluk yang
ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang
terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan
cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan me-musatkan perhatian hanya
kepada Allah swt.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai
upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan jika sudut pandang yang digunakan
manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai kesadaran fitrah (Ketuha-nan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf diatas satu dan lainnya
dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih
jiwa dengan berbagai kegia-tan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh
kehidupan dunia, sehingga tercer-min akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah
swt. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan
pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau
hakikat tasawuf.5
Tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara
mutlak dan lebih jelas. Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri
dan taqarrub kepada Allah. Namun taswuf tidak boleh melanggar apa-apa yang
telah secara jelas diatur oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam aqidah,
pemahaman ataupun tata cara yang dilaku-kan.
Faedah tasawuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada
ma’rifat terhadap Allah Ta’la sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan
diakhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’la dan mendapatkan kebahagiaan abadi.6
BAB III
KESIMPULAN
Akhlak merupakan hiasan diri yang membawa keuntungan bagi
yang mengerjakan-nya. Ia akan disukai Allah dan disukai umat manusia dan
makhluk lainnya. Didalamnya ternyata memberikan bimbingan yang optimal secara
bathiniah dapat mengintegrasi-kan jiwa manusia.
Tasawuf yang oleh sebagian orang dianggap mengandung unsur
penyimpangan dari syariat Islam dan didaulat sebagai biang keladi pembawa
kemunduran ternyata tidak dapat dibuktikan. Ajaran tasawuf dapat dicari
dasar-dasarnya secara jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagian besar
ulama telah membuktikannya dengan jelas. Sebagai ilmu ijtihad manusia, akhlak
tasawuf sama dengan ilmu lainnya. Disana ada kelemahan, kekurangan,
keistimewaan dan kelebihannya. Kiranya cara bijaksana yang perlu kita tempuh
adalah apabila kita mengambil keistimewaan dan kelebihan dari tasawuf itu
memandu hidup kita, dan meluruskan paham-paham yang kurang propor-sional.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1995)
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Syaamil, 2005)
H.
Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006)
1 Drs. H. A. Mustofa,Akhlak
Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1995), hal. 11-13
2 Ibid, hal. 13-14
3 Ibid, hal. 15
4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Syaamil, 2005), hal. 37
5 Prof. Dr. H. Abuddin
Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hal. 179-181
6 Departemen Agama RI, op.cit, hal. 69
No comments:
Post a Comment